biodata Herman Lantang
oleh JackFro ce_es pada 03 Desember 2010 jam 18:28

Tentang Herman Lantang Herman Lantang adalah mantan mahasiswa jurusan antropologi di FSUI dan juga mantan ketua senat Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 60-an. Dia juga salah satu pendiri Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) UI dan pernah mengetuai organisasi itu pada periode ‘72—’74. Bersama sahabatnya, Soe Hok Gie, dia juga menjadi inspirator gerakan demo long march mahasiswa UI untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno pasca G 30 S dan semasa Tritura. Sampai sebelum film biografi “GIE” muncul di layar perak, tak banyak orang yang menggubris kehadiran tokoh yang satu ini, kecuali, lagi-lagi, komunitas pencinta alam, yang sangat mengagungkan sikapnya yang tetap rendah hati.
Sebenarnya, pria tua yang kini lebih banyak menghabiskan sisa hidupnya di rumah, dilahirkan di sudut kota kecil -Tomohon-, sebuah kota administrasi di propinsi Sulawesi Utara, 67 tahun silam. Dalam buku baptisnya ia diberi nama: Herman Onesimus Lantang. Kegemarannya terhadap alam pun mulai timbul ketika ayahnya yang saat itu berprofesi sebagai tentara sering mengajaknya keluar - masuk hutan di kawasan Tomohon untuk berburu. Dari situ, lambat laut, kecintaannya terhadap hutan yang sarat aroma sarasah dan petualangan timbul.
Lalu, setelah tamat dari Europrrshe Lagere School; SR GMIM4 (baca: setaraf SD), herman kecil melanjutkan ke SMPK Tomohon. Herman mulai hijrah ke ibukota bersama orangtuanya yang saat itu dipindahtugaskan ke daerah baru. Kemudian di Jakarta inilah ia melanjutkan kembali pendidikan formalnya, ketika di terima di SMA 1 (Budi Utomo) pada tahun 1957 Tak puas sampai disitu, Herman mulai melirik perguruan tinggi yang menurutnya akan memberikan sistem pendidikan terbaik. Saat itu, di tahun 1960, melalui segudang test yang cukup rumit, ia pun berhasil di terima di Fak. Sastra Universitas Indonesia, Jurusan Anthropologi yang banyak berkutat dengan kebudayaan dan perilaku manusia sejak mulanya. Melalui jurusan ini pula ia sempat melakukan penelitian mendalam terhadap perilaku suku terasing –-Dhani– di Papua pada tahun 1972, yang mengantarkannya mencapai gelar sarjana penuh.
Selama menjadi mahasiswa, pribadi yang tangguh dengan idiologi sosialisnya mulai terbentuk. Melihat banyak rekan-rekan seangkatannya yang lebih memilih jalur politik praktis untuk mencapai kemapanan. Ia dan rekan lainnya malah memilih alam sebagai media pengembangan diri. Menurutnya, hanya di alam kita bisa mengenal karakter masing-masing yang sebenarnya. Tak ada yang tersembunyi. Di alam pula kita bisa memupuk rasa solidaritas dan kecintaan terhadap ciptaan Tuhan yang bisa dinikmati. ”Politik tai kucing”, Begitu tutur Herman Lantang, sahabat Soe Hok Gie ketika senat mahasiswa tidak menjadi sesuatu seperti harapan Soe serta kawan-kawannya yang lebih memilih menikmati film dan naik gunung; bukan serta-merta mengidentifikasi dirinya dalam organisasi mahasiswa tertentu di dalam kampus. Dalam jurnal harian Soe yang kemudian dibukukan dan dicetak oleh LP3ES “Catatan Seorang Demonstran”, Gie juga menulis bahwa politik itu kotor.
Kemudian, ketika tak lagi berkegiatan di dalam kampus, jiwa petualangan pula yang membuat Herman bisa di terima di beberapa perusahaan pengeboran minyak ternama, seperti: Oil Field all part of Indonesia, East Malaysia Egypt dan Australia East Texas USA. Di perusahaan tersebut ia lebih terkenal sebagai Mud Doctor, yang menangani masalah lumpur-lumpur dalam pengeboran minyak bumi. Sebuah pekerjaan yang memang sangat jauh dari disiplin ilmu yang dulunya hanya Fakultas Sastra. Namun untuk profesi barunya itu, ia tidak main-main. Herman bahkan sempat mengecam pendidikan singkat di Houston Texas pada tahun 1974 mengambil studi tentang “Mud School”.

Keluarga Pendaki
Menularkan kecintaan pada gunung dilakukan Herman sejak awal kepada istrinya, Joyce Moningka, 55 tahun, dan dua anak mereka, Erol Lantang (24 tahun) dan Cernan Lantang (21 tahun). Langkah pertama adalah pada sang istri yang bukan ”anak gunung”, karena paling banter piknik ke kawasan pegunungan. Awalnya, Herman membawa mereka ke lembah Mandalawangi-Pangrango, berangkat dari Cibodas. ”Saya kawin telat. Usia saya waktu itu 41 tahun sedangkan istri saya 29 tahun. Beda usia kami jauh sekali, tapi kami sangat mesra sampai sekarang karena ya itu tadi, sering jalan-jalan ke gunung.”
Pada Oktober 2007 dia mengalami kecelakaan saat bekerja di Balikpapan sehubungan dengan pofesinya sebagai seorang ahli pengeboran. Namun, tidak menunggu lama untuk istirahat, laki-laki asal Tomohon ini naik gunung lagi. Dalam kondisi kaki pincang, ia mendaki Gunung Mahawu di Sulawesi Utara sebagai tahap penyembuhan. ”Dua minggu lagi saya ke Pangrango. Kuncinya adalah persiapan,” nada Herman mantap. Persiapan inilah yang menurut Herman seringkali diremehkan para pendaki berusia muda. Ketika ke Gunung Gede yang dianggap memiliki tingkat kesulitan rendah, Herman tetap berpakaian lengkap, yakni baju lengan panjang, celana panjang, bersepatu, dan membawa trekking pole (sepasang tongkat untuk mendaki), sementara itu, tak sedikit ia temui pemuda bercelana pendek dan bersandal gunung saja saat mendaki atau saat turun gunung.
”Saya dan istri bisa terus menikmati gunung sampai sekarang kami sama-sama tua ini karena mendaki dilakukan dengan benar. Naik gunung bukan olahraga yang berbahaya kok.” Bertanya apa enaknya naik gunung tentu akan mendapat jawaban berbeda antara pendaki yang berusia muda dan pendaki yang sudah makan asam garam macam Herman. Di usianya kini tujuan Herman ke gunung hanyalah untuk merasakan udara bersih. Gunung juga jadi ”tempat berobat” untuk penyakit-penyakit ringan. ”Kalau pilek atau batuk ringan saja, pergilah ke gunung. Begitu turun gunung, pasti sembuh. Di gunung udaranya bersih, bisa menghilangkan penyakit.” Belakangan ini, perhatian Herman banyak tertumpah ke buku yang sedang digarapnya yang membahas 85 gunung di Pulau Jawa, termasuk gunung-gunung kecil macam Gunung Sanggabuana di Karawang Jawa Barat. Kegiatan mengumpulkan materi ini agak tertahan setelah kecelakaan. ”Sekarang, saya sedang butuh petualang untuk meng-up-date apa yang sudah saya tulis sekaligus menyelesaikannya.” Petualang muda, ada yang mau?
Herman Lantang : Petualang Tua Dengan Jiwa Yang Berkelana Oleh : Jekson Simanjuntak
Mengenal sosok yang satu ini seakan membawaku menerawang lebih jauh pada kejadian yang terjadi puluhan tahun silam, ketika gerakan mahasiswa mulai di catat dalam sejarah. Dia bersama sobatnya “Soe Hok Gie” lebih memilih berkecimpung di alam, ketimbang menjadi pecundang yang berlagak sok jagoan dan pura-pura berpihak pada rakyat.
Saya masih ingat saat itu, di suatu musim di waktu yang lalu, secara tak sengaja kami bertemu muka dengannya. Tepatnya, tiga tahun lalu, kami berhasil mendahuluinya dalam sebuah tanjakan kecil menuju air terjun Cibereum – Cibodas (Jawa Barat). Saat itu terlihat jelas kelelahan di wajahnya. Walau begitu, di usia yang genap mencapai 63 tahun, semangatnya masih tetap sama, seperti ketika pertama menapak di jalur itu puluhan tahun silam. Kala itu, bersama sahabat karibnya yang begitu melegenda “Soe Hok Gie”, mereka membuka jalur baru menuju Puncak Gn. Pangrango melewati kawasan tersebut. Hari cukup cerah kala itu, di tandai dengan silau sang surya yang menyerusuk masuk di celah-celah pepohonan hutan sekunder Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP). Berdua dengan dengan seorang sahabat, kami menghadiri undangan Penerimaan Anggota Baru Mapala UI yang rencananya akan di gelar di air terjun Cibereum – Cibodas.
Sejatinya, tak jauh dari pintu rimba, kami telah melihat sosoknya yang renta berjalan perlahan dengan seorang tua lain yang ternyata masih sahabatnya, menapak beriringan ditemani seorang wanita muda yang belakangan ku ketahui, ternyata anggota Mapala UI (MUI) yang bertugas untuk sebagai pemandu bagi kedua orang tua tadi. Sadar kami telah melaluinya, dalam kesempatan istirahat, kami bertemu lagi dengan rombongan kaum tua tadi. Kali ini, mereka berhasil mengejar ketertinggalannya, setelah istirahat terlalu lama. Terhadap wanita tadi, ternyata sang teman pernah bertemu dengannya di sebuah kesempatan. Singkat cerita, pertemuan itu menjadi perjumpaan kami yang pertama, dengan tokoh yang namanya begitu melegenda. “Siang om, istirahat dulu, ntar lanjut lagi!”, sapaku sebagai pembuka pembicaraan. Dengan wajah sinis, ia langsung membalas; “emang gua om lu!”. Di balas dengan perkataan demikian, saya langsung memutar otak. Kira-kira apa yang salah dengan ucapan saya, ya? Belakangan kami ketahui, ternyata orang tua itu, tak senang bila di panggil dengan sapaan om, apalagi bapak. Dia lebih senang di panggil “abang” seperti sebutan untuk dirinya puluhan tahun silam. “biar lebih akrab”, kilahnya. Padahal di usia senja sekarang ini sebutan om, paman, bapak or opa sepertinya lebih layak untuk dirinya.
Sejak kuliah dulu, nama itu begitu lekat dengan tokoh-tokoh penggemar kegiatan alam bebas pertama di Indonesia. Maklum saja, mereka mulai menggelutinya sejak dekade 60-an, ketika gerakan mahasiswa mulai terpecah, dimana banyak diantaranya memilih sebagai oportunis ketimbang menjadi pejuang sejati. Tak banyak diantara mereka yang eksis sebagai demonstran, seperti Soe (baca: Soe Hok Gie) dengan sahabatnya Herman Lantang, yang ternyata memiliki hobi unik, yakni mendaki gunung. Menyebut nama terakhir, mungkin tak banyak orang yang pernah tahu. Namun, bagi aktivis alam bebas dan komunitas pencinta alam, nama itu telah menjadi semacam ikon, tentang petualang generasi pertama yang dimiliki Indonesia. Aku juga masih ingat betul dalam buku Norman Edwin yang berjudul “Mendaki Gunung Sebuah Tantangan dan Petualangan”, fotonya terpampang gagah, ketika mengajar anak-anak baru Mapala UI di sebuah tebing batu di kawasan Citatah – Jawa Barat. Di foto itu, ia terlihat duduk di sebuah teras kecil, sembari melakukan belay atas (baca: pengaturan tali dari atas) menuntun pemanjat pemula di bawahnya.
Tiba di Base Camp Sepanjang jalan menuju base camp yang di dirikan tak jauh dari air terjun Cibereum, kami saling bercengkerama tentang petualangannya yang sangat melegenda. Seperti sudah kuduga, ia tetap rendah diri, dengan menganggap semua petualangannya tak lebih dari pengenalan diri sendiri ketika bersahabat dengan alam. “alam tak kan pernah sanggup kita taklukkan”, imbuhnya. Di sebuah kesempatan, ia juga bercerita banyak tentang pendakiannya ke Carstenz Pyramid di Papua pada era 70-an. Saat tak banyak orang pernah menggapai puncaknya yang selalu terselubung es abadi, mereka dengan nama besar Mapala UI, menjadi manusia indonesia pertama yang menginjakkan kaki disana.
Walau begitu, selalu saja ada cerita unik yang mengikuti petualangan mereka. Di sebuah tempat istirahat yang aku sendiri sudah lupa berapa kali berhenti sejak yang pertama, saking terlalu seringnya istirahat, Bang Thaib – sebutan untuk teman tuanya yang satu lagi- mulai bercerita, tentang betapa beraninya Herman Lantang kala itu. Saat melakukan pendakian perdana di bumi cendrawasih, mereka (baca: MUI) hanya bertiga, yakni; Thaib, Herman dengan seorang lagi yang aku sudah lupa namanya. Di sebuah kesempatan, Herman sempat mengejar-ngejar seorang porter dari suku papua, yang mereka anggap keterlaluan. Pasalnya, setelah semua diberi, baik honor guide, pakaian serta perlengkapan, ia masih memprovokasi anggota porter yang lain untuk protes. Sontak, Herman yang saat itu darah mudanya gampang menyala, langsung menuding orang tersebut. Bahkan, tidak puas dengan aksi itu, ia malah mengejar orang papua tersebut dengan golok terhunus. Melihat itu, si papua langsung lari tunggang langgang menuju desa dan tak kelihatan lagi batang hidungnya, bahkan sampai ekspedisi mereka selesai.
Thaib, yang melihat aksi nekat tersebut hanya bisa geleng-geleng kepala. Gak percaya temannya bisa melakukan aksi se-nekad itu. “ Emang dia dasar edan, orang papua di kejar-kejar pake golok. Padahal, kalo mereka mau melawan, mungkin bisa aja. Wong kita cuma bertiga, sementara mereka jumlahnya puluhan orang”, tukas Thaib di sela-sela pembicaraan kami kala itu. “justru itu, gua berani! Lagian dia yang salah, dia juga bukan koordinator porter dan porter yang lain tak ada yang protes alias semua fine-fine aja. Eh, malah dia yang nyolot. Langsung aja gua kejar, biar dia tahu rasa” sahut Herman kemudian. Mendengar itu aku, hanya senyum-senyum sendiri. Dan, biasanya, cerita-cerita seperti ini tak pernah keluar di laporan perjalanan, apalagi di media massa.
Tak puas dengan cerita itu, kisah mereka masih berlanjut dengan cerita lain yang tak kalah seru, seperti ketika pendakian ke Gn. Semeru memperingati 30 tahun tragedi yang merenggut nyawa putra terbaik bangsa – Soe Hok Gie- dan seabrek petualangan yang mereka lakukan di tanah air. Dari sekian banyak, salah satu yang masih saya ingat adalah pendakiannya ke Gn. Kerinci di tahun 2000, yang sempat menghebohkan banyak kalangan. Pasalnya, usia lanjut, menjadi salah satu kekhawatiran para ranger yang menjaga gunung tersebut. Seperti biasa, jarak yang jauh, selalu saja tak terasa, jika dilalui dengan perasaan gembira. Sama seperti saat itu, tak lama berselang, kami pun berhasil menggapai base camp yang ternyata telah di penuhi oleh anggota MUI yang lain. Beberapa buah tenda tampak menghiasi kawasan yang berada persis di sebelah jalan. Sejurus berlalu, kami pun sibuk dengan aneka kegiatan, mulai dari mendirikan tenda hingga memasak. Sementara itu, secara perlahan pancaran sang surya mulai menjauh berganti gelap yang berpadu indah dengan ribuan orkestra jangkrik hutan. Sungguh, aku rindu suasana seperti ini.
Herman Lantang: Soe Tidak Suka Pengkultusan
Kamis, 17 Des '09 12:47,
Di usianya yang sudah memasuki angka 69, Herman Onesimus Lantang masih terlihat segar dan bersemangat. Maklum, lelaki Minahasa yang memiliki sorot mata tajam itu, hingga kini masih betah mengakrabi hobinya di masa muda: naik gunung. Bahkan bukan saja dalam aktifitas, gaya bicara opa satu ini masih meledak-ledak,cuek namun egaliter,sebuah sikap khas aktivis pecinta alam.Herman memang tidak setangkas dulu lagi. Jalannya sekarang agak pelan. Dalam sebuah pendakian beberapa lalu, ia jatuh hingga menyebabkan kaki sebelah kirinya patah. "Ya beginilah gua sekarang, sementara ini kemana-mana harus pake tongkat,"kata mantan Ketua Mahasiswa Pecinta Alam UI dan bekas Ketua Senat Fakultas Sastra UI era 60-an itu.
Banyak orang mengatakan, Herman adalah saksi hidup penting atas peristiwa kematian karibnya Soe Hok Gie di Gunung Semeru tepat 40 tahun lalu. Dan menurutnya, sang demonstran yang juga intelektual muda itu memang persis meninggal di pangkuannya. Karena situasi itu, ia malah sempat dicurigai polisi sebagai "pembunuh" Soe. Bisa jadi itu terkait rumor yang beredar sebelum mereka berangkat ke Semeru yang menyatakan bahwa Soe tengah "diincar" salah satu klik dalam tubuh tentara gara-gara tulisan-tulisannya.
Seperti apa rekontruksi kejadian tragis 40 tahun lalu itu sebenarnya? Lantas apa komentar Herman mengetahui sosok Soe yang kini telah menjadi ikon (bahkan nyaris dikultuskan) oleh sebagian anak muda? Inilah hasil obrolan saya dengan Si Jenderal Kepala Batu (julukan Soe untuk Herman) itu pada Rabu siang kemarin (16/12) di Kampus UI Depok.
Kegiatan anda sekarang apa saja Bang Herman?
Ya macam-macamlah.Sebenarnya tidak ada kegiatan khusus yang gua kerjakan.Paling banter ya gua naik gunung-gunung yang ada di Indonesia khususnya yang ada di Jawa.Selain itu gua juga sering diundang untuk jadi nara sumber soal-soal kepecintaalaman40 tahun sudah Soe Hok Gie pergi,bagaimana perasaan anda sebagai karibnya menyaksikan anak-anak muda sekarang banyak yang memuja dia?
Jujur aja, gua sangat bangga dengan dia. Gua enggak menyangka, begitu besarnya pengaruh Hok Gie hari ini kepada anak-anak muda. Mungkin karena zaman sekarang informasi begitu cepat bisa didapatkan, bisa lewat film, buku, internet, tv dan lain-lain. Mudah-mudahan saja, mereka (anak-anak muda pengangum Ho Gie) tidak sebatas mengidolakan saja tapi juga bisa mempraktekan apa-apa yang pernah dibuat Hok Gie buat bangsa ini.Orang tahu Bang Herman itu kawannya Soe, tapi persisnya seperti apa sih persahabatan di antara anda dengan Soe sebenarnya?
Gua sangat dekat dan bisa dikatakan teman karib dengan dia. Tapi untuk urusan politik, gua enggak ikut-ikutan.Jujur saja,gua buta politik.Orang bilang Hok Gie agak "kiri" bahkan komunis, gua enggak tahu dan enggak perduli. Hubungan gua ama dia, sepenuhnya betul-betul soal persahabatan antara dua manusia, bukan soal-soal lain.Bagaimana bisa anda buta politik, sedangkan pada 1965-1966, anda pernah jadi Ketua Senat Fakultas Sastra UI?Hahahaha. Ya orang bilang gua ini cuma menang penampilan doang dan bisa meraih banyak massa.Kalau otaknya ya Si Hok Gie itu.Dia banyak back up, saat gua jadi Ketua Senat FS UI.Dalam buku hariannya (yang kelak diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran), Soe mengakui pamor Herman Lantang di kalangan mahasiswa Fakultas Sastra.Dia menyebut Herman sebagai orang yang dianugerahi penampilan kharismatik.
Kalau Soe jadi otak anda, jangan-jangan selama itu justru Bang Herman "ditunggangi" Soe...Enggaaaak dong! (nada suaranya meninggi). Lo pikir gua enggak punya prinsipsendiri? Hubungan gua sama Hok Gie itu adalah hubungan yang dilandasi persahabatan dan kepercayaan. Terlebih dalam berbagai soal, gua memiliki pandangan yang sama dengan dia.Enggak ada itu tunggang menunggangi. Gua cocok ama dia, dia cocok ama gua.Itu saja.
Ok. Bang Herman bagaimana komentar anda melihat karib anda itu sekarang telah menjadi "idola" baru?
Gua sih senang-senang saja. Tapi ya jangan keterlaluan.Kalau sudah mengkultuskan,itu yang salah. Gua enggak suka dan gua yakin Soe juga tidak suka. Yang harus ditiru dari Soe itu keberanian,kejujuran,kesederhanaan dan kepintaran dia.Bukan personnya.
Kabarnya waktu detik-detik Soe akan meninggal di Puncak Mahameru, anda adalah sahabat satu-satunya yang ada di dekatnya?Ya itu kebetulan saja. Dia memang meninggal di pangkuan gua.Katanya juga gara-gara soal ini,Bang Herman sempat dicurigai oleh Polisi?Ya pas turun gua sempat dicecar sama 2 perwira polisi.Mereka sempat curiga kematian Soe dan Idan (Idan Lubis) sebagai hasil pembunuhan berlatarbelakang konspirasi politik (mengingat aksi-aksi dan tulisan-tulisan Soe yang sarat kritik di koran-koran).Anda tentu saja menyangkal?Ya terang dong.Gua bicara keras kepada mereka soal kecurigaan itu. Pembunuhan berlatar belakang konspirasi politik? Gua aja enggak tahu itu jenis binatang apaan?
Mereka percaya?
Gua enggak tahu, tapi mereka berlagak seakan-akan tidak mengerti bahasa Indonesia.Tapi ya akhirnya gua bebas juga dari interogasi.
Terakhir Bang Herman,andaikan Soe masih hidup sekarang,anda yakin dia akan terus konsisten memegang prinsip-prinsipnya?
Gua yakin dia akan melakukannya.Tapi ya itu hidupnya akan seperti Arief (Arief Budiman,kakak Soe Hok Gie yang juga juga intelektual dan mantan demonstran anti korupsi): selalu diasingkan dan hidup terpencil karena selalu mengajak kekuasaan untuk selalu berantem.(hendijo)
Herman Lantang Petualang Tua Dengan Jiwa Yang Berkelana 1999
Herman, petualang tua dengan jiwa yang berkelana. May 19, '08 6:18 PM for everyone demonstran, seperti Soe (baca: Soe Hok Gie) dengan sahabatnya Herman Lantang, yang Bagi Kartini, Nyonya Abendanon, adalah “ibu jiwa Tak jarang pula dia membacakannya dengan gagah-lantang pada semua menyelamatkan dirinya sendiri dalam rangkaian petualang yang tag:blogger.com,1999:blog-775934586278348520. 2010 Deviana yang telah berkelana seperempat abad di Eropa tak rumah tempat tinggal para gelandangan dengan gitar tua Para Pembicara yang hadir adalah: Para sahabat SHG (Herman Lantang sekali konsisten dengan apa yang dituntutnya.ga akan bisa menyamai jiwa yang bagaikan monyet tua yang Ini adalah kebesaran jiwa ummat Islam pada waktu itu yang terjewantah dalam mereka adalah pemusik-seniman dangdut yang berkelana dialog paling jenius di Indonesia yang dengan saya orang orang pertama,” jelas pria yang pernah berkelana di beberapa di antaranya adalah, Prof Ir Herman Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia) dengan masa bakti 1999 KAPINIS Bandung dengan mengirimkan salah satu atlet terbaiknya, Herman DEBLENG, maka remaja (sungai) Ciberang yang keturunan Jerman yang berkelana lahir dari titisan jiwa yang Deddy Sutansjah memiliki orang tua yang tentang pendirian pencinta alam yang motori almarhum Soe Hok Gie, Herman Lantang diganti saja nama pencinta alam dengan nama jenis petualangTetapi ada sebagian orang tua yang bikin keki.entah apa yang ada dalam pikiran gubernur jenderal Willem Herman bertaruh nyawa dan menyabung jiwa dengan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Islam Semarang yang kemudian dibukukan dengan judul Di Bawah Lentera Merah (Bentang Budaya, 1999). pada temannya, Herman Lantang, yang
Pamanku: Herman O Lantang
Lama tak jumpa, aku bertemu kembali dengan pamanku (adik bungsu ayahku) Herman O. Lantang. Terus terang agak kaget juga ketika aku bermaksud menjemputnya di stasiun sudimara. di pinggir jalan sebelum stasiun aku melihat sosok laki2 tua dengan tongkat & ransel dipunggung bersama perempuan sederhana dengan rambut yang sama-sama telah memutih. Ah, ternyata mereka orang yang aku cari. Sambil menepikan kendaraanku aku memanggilnya,”Oom Herman, Tante Joyce!” Mereka ternyata juga kaget, karena mengira akan dijemput oleh suamiku dengan mobil yang sudah mereka kenal. “Cepat-cepat naik, Oom!“ seruku.Sementara dibelakang para angkot hijau sudah tak sabar menanti. Oops! sorry deh, abis aku juga gak nyangka ketemuannya di pinggir jalan. Singkat cerita kami berkangen-kangenan di mobil. Oom Herman langsung dengan bangganya memperlihatkan Klappertart buatannya yang aku pesan. Hmmmm….. muantaaap banget! Oomku yang satu ini memang luarbiasa hebatnya, selain bisa menaklukkan gunung2, beliau juga mampu menakulukkan dapur2 (he he he). Setiba di rumahku yang cuma 500 m dari stasiun Sudimara. Kami pun mulai asyiiik bertukar cerita. Dan aku sungguh-sungguh nelangsa dengan keaadaan Oom-ku sekarang. Tapi aku bangga beliau & keluarganya benar-benar taught! Sebagaimana diketahui umum, beliau mendapat kecelakaan yang membuatnya tak dapat terus bekerja pada Oktober 2006. Kecelakaan yang membuatnya tak dapat berjalan dengan baik. Kecelakaan yang membuatnya kehilangan mata pencahariaannya. Oom Herman yang sebelumnya bergelimang dollar kini harus mensyukuri rupiah demi rupiah yang diperolehnya dari berjualan kue. Beliau tidak mengeluh, Semangatnya tetap membara disetiap cita-cita yang ia utarakan. “ Gue emang udah gak sanggup hidup di Jakarta, gue mau balik aja ke Tomohon (Sulut). Anak-anak (Erol & Cernan, sepupuku) sudah di sana. Gue mau jual aja sebagian asset gue di sini buat modal hidup & usaha di sana.”.. (Beliau memang biasa bergue-ria saat berbicara dengan kami ponakannya). Ada satu yang mengusikku dari cerita-cerita yang disampaikannya. Suatu hal yang membuat aku marah, Entah pada siapa.. Yaitu saat dia utarakan kehilangannya akan barang-barang di dalam rumahnya. Mungkin banyak yang tahu kalo rumah Herman O Lantang selalu terbuka 24 jam. Sayangnya kemurahan hati oom-ku itu dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Sehingga beliau harus kehilangan laptopnya, pisau langka andalannya, handphone, dll. Dan semua itu terjadi setelah kedua anaknya pindah ke Manado. Memang oom-ku itu pada akhirnya mencoba mengambil pelajaran dari kejadian tersebut. Kini jika bepergian rumahnya sudah tidak lagi terbuka, alias dikunci. Tapi tetap saja sebagai kemenakannya saya prihatin. Kok tega-teganya sih para “pecinta alam” itu berbuat hal2 yang tidak terpuji. Apalagi dilakukan kepada seniornya yang seharusnya dihormati dan disegani. Sungguh terlalu!
Note: Herman Lantang adalah mahasiswa jurusan antropologi di FSUI dan juga mantan ketua senat Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 60-an. Dia juga salah satu pendiri Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) UI dan pernah mengetuai organisasi itu pada periode '72—'74.
Bersama sahabatnya, Soe Hok Gie, dia juga menjadi inspirator gerakan demo long march mahasiswa UI untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno pasca G 30 S dan semasa Tritura. Sahabatnya tersebut meninggal dipangkuannya pada 16 Desember 1969 di puncak Mahameru
http://echieq.multiply.com/reviews/item/4

Minggu, Desember 11, 2005
Pendakian Pangrango, edan gila abis...
Gua masih ga bisa percaya apa yang baru aja gua jalanin beberapa hari kemarin. Gua ngedaki Pangrango bareng Herman Lantang, mamen! Pengalaman yang sungguh berharga dan ga semua org bisa ngedapetinnya. Gua lagi beruntung kali ya… hehehe… Sebenernya gua ikutan anak2 KMPA dan psikopad ke Pangrango tuh cuman iseng dowang. Kamis malem gua baru nyampe balik dari Baluran. Trus ada tawaran ke Pangrango, gua sih mau2 aja tanpa pikir dua kali, padahal gua belum istirahat pasca kulap loh… Niatnya juga cuman emang pengen kemping biasa doang. Ya.. sekalian ngeceng sih, sapa tau ada yang nyantol, heuheu..
Jum’at, 8 Desember 2005 Jum’at malem kita berangkat naik truk troton yang disewa. Kita dijemput di gerbang belakang ITB. Di dalem truk itu udah banyak tumpukan kerir dan tumpukan anak2 UNPAD. Komposisinya: cewe2 nasi goreng spesial pake cowo cincai. Iya, cowonya cararincay alias cincay semua. Kita turun di Cibodas, dan langsung masuk ke Mess Mandalakitri. Semua anak masuk ke dalam satu ruangan besar seperti aula.
Abis makan malem, Mario nawarin gua untuk se-tim ma Herman Lantang, soalnya di tim itu cuman ada satu cewe. Cewe itu dari Surabaya, fans berat Soe Hok Gie, dan sengaja dateng jauh2 dari Surabaya hanya untuk bergabung dengan tim ini : mengenang Soe Hok Gie. Gua sih hayu2 aja. Saat itu gua ga begitu ngeh tentang Herman Lantang, dan gua pikir mereka akan jalan dengan jumlah personel yang banyak, jadi gua pikir it seems like perjalanan biasa. Sabtu, 9 Desember 2005 Rencana berangkat hari ini jam 04.00 subuh, tapi ternyata jadwal diganti jadi jam 06.00 WIB. Gua ma Menur dibangunin jam 04.30 ma Mario, trus gua dikenalin dgn anak2 MAPALA sambil menikmati roti, kue, dan teh manis panas. Anak-anak MAPALA yg ikut pada pendakian ini berjumlah 4 orang: Daus, Agi, Amran, dan Tonte. Mereka baru nyampe dari Depok jam 3 subuh dan belom sempet tidur apalagi mandi. Bawaan mereka kulkas semua. Ukuran kulkasnya juga lebih besar daripada kulkas KMPA, wajar kalo Bang Herman manggil mereka ‘badak’.
Gua make sepatu bareng Bang Herman. Awalnya gua bingung gua manggil si Bang Herman ini apaan ya, Om apa Pak apa Kek atau apa? Akhirnya gua panggil Om, trus dia bilang “Jangan panggil Om dong… panggil Bang. Kecuali kalo kamu mo jaga jarak, haha!”
Pendakian bareng tim kali ini ga lewat jalur pendakian konvensional. Ternyata anak MAPALA punya jalur sendiri di sini. Hampir tiap tahun mereka ngadain pelantikan di sini, jadi kayanya dah tau bener seluk beluk gunung ini. Bang Herman bilang dia pengen pendakian yang agak khidmat, biar kerasa mengenang Soe Hok Gie-nya. Kalo rame-rame kan males dan kerasa ga khidmat… Sepanjang jalan kenangan Bang Herman banyak cerita tentang Gie dan juga kehidupan pribadinya mulai anaknya, istrinya, jaman2 kuliah, jaman2 kerja di Laut Jawa, cerita2 penting sampe cerita2 ga penting, salah satunya arti kata tonte dalam bahasa Menado yg artinya t*t*t. Huhuahahahaha…!
Ternyata jalurnya edan bgt. Curam sekaligus tertutup sekaligus rahasia. Wow… gua ngedaki lewat jalur rahasianya MAPALA, berati bisa gua bocorin, hehehe… tapi ga mungkin lahay…Di atas, pada ketinggian sekitar 1700 mdpl akhirnya kita nemu medan datar. Medan tersebut merupakan medan lintasan yg namanya Geger Bentang. Jalur itu merupakan jalur yg cukup umum dipake oleh orang2. Jadi jalur terjal yg baru aja kita lewatin adalah jalan pintas Cibodas menuju jalur Geger Bentang. Dua puluah tiga langkah dari tempat keluar jalur nanjak, ada daerah yg agak lapang, yg di atasnya ada pasak penunjuk jarak dgn satuan Hm (hekto meter loh… bukan HM Soeharto). Di pasak itu bertuliskan B 36. Tempat itu dijadiin patokan oleh anak2 MAPALA untuk mencari pintu jalan pintas yg tadi gua ceritain.
Pukul 11.00 WIB, di tempat itu kita makan siang sambil menjemur apa yg basah dan bisa dijemur. Keempat anak MAPALA ngebuka sepatu dan celana raincoatnya. Tinggallah celana pendek yg cuma seuprit yg menempel pada kaki. Ternyata mereka punya kebiasaan ngedaki gunung pake celana pendek mini (hotpants) pada bagian dalam, dan celana raincoat pada bagian luar. Mungkin kebiasaan ini juga diturunin dari Bang Herman dan Soe Hok Gie, seperti juga Gie yang diperankan oleh Nico.
Ternyata ladang edelweis ga hanya di Suryakencana dan Mandalawangi aja. Ada satu tempat lagi. Gua ga tau apa namanya, tapi yg jelas pada wilayah perbatasan antara hutan dgn vegetasi edelweis ada tempat yg namanya ‘Berg Sport’. Dalam bahasa Belanda berg berarti gunung. Kata Bang Herman dulu tempat ini dijadiin tempat peristirahatan sejenak oleh para pendaki pada jaman Belanda. Tempatnya ga begitu istimewa, hanya medan datar di antara medan tanjakan dan medan turunan, luasnya juga ga begitu besar. Pukul 16.00 WIB kita sampe di tempat itu, beristirahat sejenak, sambil makan sandwich krekers pindekaas dan minum susu sereal. Hujan rintik2 berubah menjadi hujan yg lebih deras, kami memasang flysheet besar di sana.
Perjalanan dilanjutkan. Gua dan Bang Herman jalan paling depan, sementara Menur dan badak2 menyusul kemudian karena mereka harus solat. Gua jalan paling depan, mumpung lagi on fire, lagi semangat2nya jalan… gua melintasi vegetasi edelweis di tengah hujan deras sendirian. Kalo kata Fujii Fumiya sih “Furi kaeruto itsumo kiminga”, ya… ga sama persis sih artinya tapi mirip2 lah. Vegetasi edelweis di tempat ini beda ma Suryakencana ato Mandalawangi. Kalo di kedua tempat itu edelweis hidup di atas tanah, di sini mereka hidup di atas batu. Kemungkinan batu2 ini adalah lelehan larva Gunung Gede yg mengeras. Vegetasi edelweis ini ga luas, baru beberapa puluh meter gua ngedaki, vegetasi berubah lagi menjadi hutan. Karena hutannya gelap dan lumayan serem, gua putusin untuk nunggu tim dan duduk di atas batu sambil ujan2an pake raincoat.
Cukup lama gua nunggu. Mungkin sekitar 30 menit. Gua mulai was2, apa jangan2 gua yg salah jalan? Tapi ah, itu ga mungkin bgt. Saat itu oksigen mulai menipis, dan gua pun semakin mengantuk. Gua putusin untuk turun lagi ke bawah. Beberapa meter gua turun, gua nemuin Bang Herman lagi sendirian. Dia juga bingung kenapa anak2 ga ada yg mulai jalan padahal udah lama bgt ditungguin. Dia berteriak manggil anak2 itu. Yang didapat adalah jawaban-jawaban yang tidak jelas terdengar. Beberapa menit kemudian Tonte dateng sambil lari2 dan keujanan, terengah2 pula. Dia bilang Menur sakit, dan dia pengen istirahat 2 jam aja. Bang Herman ga suka dgn keadaan seperti ini. Dia bilang tim kita ga boleh kepecah2 gini. Lagian si Menur juga kenapa ga ngomong dari tadi. Bang Herman akhirnya turun tangan. Dia nitip tasnya yang harus selalu dipayungin sama gua. Tiga meter di bawah gua ada Arman yg ga jelas lagi ngapain. Tepat satu setengah jam setelah langkah kaki gua meninggalkan Berg Sport, Menur muncul. Dia minta maaf sama gue karena telah membuat gua menunggu lama sambil keujanan dan hampir hipotermia.
Karena dah keburu gelap, kita jalannya rada digeber. Dua jam penuh dari Berg Sport ke Lembah Mandalawangi kita ga minum dan ga istirahat. Suasana saat itu hujan deras dan gelap, jalanan yang basah bikin kita sulit bgt lewat jalan itu. Udah ga keitung deh berapa kali kita jatuh di jalur itu. Hedon juga nih jalannya, jagoan euy… Pas dah nyampe Mandalawangi gua baru nyadar kalo kita cuman berlima. Ternyata Agi dan Daus masih di Berg Sport bikin air panas buat kita kalo2 ada apa2.
Malem ini Tonte yg masakin makanan buat kita. Gua ma Menur di dalem dom, Tonte, Amran, dan Bang Herman di luar. Aturan sih gituh, tapi si Amran kedinginan trus pengen masuk dom. Nyempil dah dia di tengah.
Minggu, 10 Desember 2005 Pagi ini gua bangun kesiangan. Di luar banyak suara orang-orang, termasuk suara2 yg gua kenal, ya suara teman KMPA. Mereka baru aja muncak bareng timnya masing2. Tadi malem selain tim Robi pada ngecamp di Kandang Badak. Cuman timnya Robi aja yg ngecamp di puncak. Tim yg aneh…
Di pagi buta ini semua orang udah bangun ketika gua bangun. Artinya gua bangun paling telat alias gua kebo, heuheu… Jadi pengen malu nih, tapi ga malu. Ternyata Agi dan Daus dah dateng. Mereka cabut dari Berg Sport jam 2 pagi, dan nyampe sini ham 4. Kita cerita2 dan ketawa2 bareng sambil bikin pancake yang adonannya dibuat oleh Bang Herman. Surprise… rasanya lebih enak daripada pancake buatan gua. Rahasianya adalah dia pake baking powder dalam adonannya. Sekitar jam 9 kita ngadain perenungan mengenang kepergian Soe Hok Gie. Ga banyak yang ikutan, cuman tim kami dan tim Mario. Suasana sangat khidmat saat itu. Bang Herman berbicara sepatah dua patah kata, dilanjutkan dengan pembacaan puisi Mandalawangi-Pangrango karya Soe Hok Gie oleh salah seorang anak Unpad. Bang Herman saat itu sedikit emosional, tergambar dari suaranya yang terdengar bergetar dan terkesan getir.
Packing dilanjutkan setelah perenungan. Waktu itu sekitar pukul 10.15 WIB, dan berakhir pada pukul 10.30 WIB. Kita packingnya lama bgt, banyakan ketawa dan ngobrolnya. Saat itu Bang Herman bilang bahwa Mario mirip Gie dalah hal kecerewetan, tapi dia belum cukup pintar untuk dikatakan mirip Gie. Hal yang paling konyol yang bikin packing lama tuh waktu Tonte nemu kolor di dalem tenda. Punya siapa lagi kalo bukan punya Amran… Jadi semalem tuh dia ganti kolor di dalem tenda yang berisi dua cewe. Omigod, dasar org gila. Trus pas tenda udah dilipet dan si Amran mo ganti celana, dia perosotin aja gituh celananya ditempat packing, di depan kita cewe-cewe. Aturan kalo ada kejadian kaya gitu yang ngomong sori tuh gua ma Menur, karena merasa dia dirugikan, tapi in this case malah dia yang ngomong sori sori. Uh, dasar aneh!
Hari ini gua udah mulai ngenal kepribadian tiap2 anak. - Agi: baru lulus D-III Pariwisata UI, anak Rock Climbing, pernah ke Cartens 2X!, suka fotografi, paling kuat di tim, orangnya rada serius, hari ini pake sepatu yang sama ma Riyanni jangkaru di Cartens dan Raincoat dari sponsor jalan2nya Lativi di cartens juga. Bodinya wow… yyyyuu! - Tonte: dah lulus S1 Fisika, eh dah lulus belum ya? Udah kali. Orangnya kocak dan konyol. Satu-satunya perokok dalam tim. Ngecengin Melati, ga tau Melati yang mana, kayanya anaknya Norman Edwin deh… Banyak makan dan gampang laper. Nice guy.. :) - Daus, orgnya kocak juga tapi rada pendiem. Beungeut2nya setipe ma Jupri: muka lonjong kurus berkacamata. Badak kedua setelah Agi. Jadi guide Miles’ crew pas syuting GIE di Pangrango, gaya euy…! - Amran, manusia unik, selalu ngomong “jreng!” di akhir kalimat seru. Anak Geografi yang kerja di BMG sebagai pembawa berita gempa. Orang budek yang nyangka gua anak geologi padahal biologi =)) Ketinggalan kolor di tenda cewe (aih…), suka buka celana di mana aja, termasuk di hamparan luas padang edelweis Mandalawangi-Pangrango. - Menur: seorang idealis yang suka naik gunung tapi ga mau masuk PA dengan alasan yang tidak jelas. Keren… semester lima udah nyari duit sendiri buat kuliah gara2 ga disetujuin ma ortunya masuk jurusan sastra. Anjir… kalo gua mah dah mampus kali… Fans terberat GIE yang pernah gua temuin, dan mungkin yang pernah ada di muka bumi ini. - Bang Herman Lantang: manusia super keren. Usia bukan masalah buat terus naik gunung. Fisik boleh tua tapi jiwa teuteup muda.. Pancake buatannya enyak enyak enyak… Pengen duong mertua kaya ginih, heuheuheu..
Pada perjalanan melintasi Lembah Mandalawangi kami bertemu dengan anaknya Rudi Badil, sahabat Soe Hok Gie dan Bang Herman. Gua lupa namanya, tapi gua masih inget mukanya. Dia keturunan Cina juga, sama seperti Gie. Sebelum pamit Bang Herman poto2 dulu dengan dia. Dah kaya selebritis aja nih si Abang…
Perjalanan pulang ternyata lebih seru daripada perjalanan pergi. Menur salah milih jalan, dan akhirnya kita terjerumus pada jalur yang kata Mario tidak manusiawi. Saking seringnya jatoh, raincot kita seragam warna coklat, tangan seragam berbaret-baret, dan muka seragam kotor. Gapapa kok, Rinso bilang kan kalo ga kotor ga belajar, hehe…
Cerita tentang meninggalnya Gie
Herman Lantang, seorang kawan karib Soe Hok Gie, mengungkapkan peristiwa yang terjadi empat puluh tahun lalu itu, seperti baru terjadi kemarin. Sepertinya, dia orang yang paling kehilangan sosok Soe. Karibnya itu meninggal dalam pangkuannya ketika akan merayakan ulang tahun di puncak gunung Semeru pada 1969.
Malam itu, ketika suara jangkrik di kejauhan semakin melemah, Herman yang saat itu duduk di atas batu yang lebih tinggi, mulai menularkan pengalamannya perihal meninggalnya Soe, sobat karibnya itu. Kami yang merasa beruntung dengan pelajaran sejarah gratis seperti itu, langsung mengerubunginya dengan duduk melingkar.
Sebelum kuliah gratis itu di gelar, aku masih ingat, betapa ia sangat marah ketika mengetahui ada teman yang sengaja memotong daun pisang untuk alas duduk malam itu. Menurutnya, tak secuil pun kita boleh melukai alam, even hanya mengambil daun atau rantingnya. “biar mereka (baca: tumbuhan) hidup atau mati dengan sendirinya”, kilahnya. Melihat itu, aku merasa bahwa sikap orang tua ini begitu konservatif. Apapun itu, merupakan pilihan bijak untuk melihat alam tetap lestari.
Ketika semua duduk manis, secara perlahan ia mulai bercerita tentang meninggalnya Soe di puncak Semeru, puluhan tahun silam. Menurutnya, tragadi itu bermula saat mereka berhasil menapak di kawasan puncak Semeru yang saat itu ditutupi abu tebal. Mereka (Soe, Herman dan Idham) yang kala itu berjalan dalam deretan belakang telah tertinggal jauh dengan rombongan lain (baca: Rudi Badil, Aristides Katopo, Fredi Lasut, Maman dan Wiwiek) yang ternyata telah muncak lebih dahulu.
Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) dengan semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, anggota tim rombangan pertama tadi langsung melanjutkan perjalanan pulang. Kini, tinggallah mereka bertiga (Herman, Soe dan idham).
Jauh di belakang terlihat Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Kelihatannya mereka akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.
Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), Tides, Wiwiek dan Maman, menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Mereka berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.
Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides seperti ditirukan Herman sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad kedua tersebut sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.
Piala Citra - 36 Thn Kepergian GIE

January 11th, 2006 by daurie
Piala Citra untuk Peringatan 36 Tahun Kepergian Soe Hok Gie
(sebuah kebetulan yang indah)
Haru rasanya menyaksikan malam ini film GIE mendapatkan penghargaan sbg film terbaik dan pemeran pria terbaik dlm piala citra, disiarkan langsung indosiar. Itulah isi sms yang saya kirimkan kepada Bung Herman Lantang (karib Soe Hok Gie) dan beberapa kawan lainnya.
Malam ini, sosok Soe Hok Gie seakan menyeruak hadir di sebuah ajang bergengsi insan perfilman
Indonesia
, acara penganugerahan Piala Citra. Sebuah kebetulan yang indah sekaligus menyentak, dimana film Gie mendapat penghargaan sebagai film terbaik dan pemeran pria terbaik pada tanggal 15 Desember 2005. Pada tanggal yang sama dalam kurun 36 tahun yang lalu, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya sedang dalam perjalanan menuju puncak gunung Semeru dan keesokan harinya (16 Desember 1969) Soe Hok Gie meninggal dunia tercekik gas beracun kawah mahameru di gunung tersebut, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27.
Dalam catatan hariannya yang dibukukan tertanggal 22 Januari 1962, Soe Hok Gie menuliskan, “Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda” (Catatan Seorang Demonstran, hal. 96). Gie memang akhirnya meninggal dunia dalam usia yang muda di kesunyian gunung, jenazah Gie serta Idan Lubis hanya ditunggui oleh seorang karibnya Herman O. Lantang selama berhari-hari, baru enam hari kemudian (22 Desember 1969) regu penyelamat bersama penduduk sekitar berhasil menurunkan jenazah keduanya dari gunung Semeru dan pada tanggal 24 Desember 1969 diterbangkan dari Surabaya untuk dimakamkan di Jakarta.
Tak banyak yang mencatat dan mengetahui sosok serta pemikiran Soe Hok Gie dalam perjalanan pergerakan
Indonesia
di tahun 1960-an. Hingga akhirnya kisah perjalanan hidupnya difilmkan oleh Miles Production dengan produser Mira Lesmana dan Sutradara Riri Riza. Selain itu buku Catatan Seorang Demonstran yang berisi catatan hariannya diterbitkan kembali.
Berbekal keinginan untuk menggali sisi humanis seorang Gie dan menyelusuri pemikirannya, atas inisiatif dari kawan-kawan di Bandung, pada awal Oktober 2005 kami mengadakan acara kemping bersama sahabat dan mereka yang mengetahui jejak kehidupan Soe Hok Gie secara dekat (Herman Lantang, Ernest, Gandung) di daerah Lembang - Bandung. Sebuah pertemuan yang diisi dengan diskusi hangat mengitari api unggun yang menghantarkan kekaguman atas pemikiran Gie di masa pergerakan 1966. Gie adalah sosok muda cerdas, jujur, dan sangat berani mengungkapkan kenyataan masyarakat semasa hidupnya.
Penghargaan dan apresiasi terhadap film Gie, kiranya menjadi pengingat bagi kita semua, pemikiran yang dilontarkan Gie dalam tulisan-tulisannya di media
massa
pada masa tahun 1960-an masih sangat relevan dalam kondisi negara kita saat ini yang sedang guncang dalam berbagai aspek kehidupan.
Entah apa yang dipikirkan Gie menjelang tengah malam pada tanggal 15 Desember 1969, Gie mungkin tidak akan terpikirkan jika ternyata pada tanggal yang sama 36 tahun kemudian kisah hidupnya yang difilmkan memperoleh penghargaan piala citra sebagai film terbaik. Sungguh, sebuah hadiah peringatan yang manis untuk mengenang 36 tahun kepergiannya sekaligus sebuah kebetulan yang teramat indah.
Ket foto : dokumentasi waktu kemping bareng karib Soe Hok Gie (Herman Lantang, Ernest, Gandung) dan kawan2 komunitas pergerakan/pecinta alam.
# Lembang - Bandung, awal Okt 2005 #

Senin, 15 Juni 2009
Herman Lantang: “Banyak ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa sekarang!”
Senin pagi, tanggal 10 Januari 1966. Ratusan mahasiswa yang menamakan diri Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI) melakukan demonstrasi besar di depan kampus UI Salemba. Aksi mereka dilatarbelakangi adanya kebijakan Soekarno yang dirasa gagal dalam memecahkan masalah ekonomi, sosial, dan politik ketika itu. Tuntutan mereka diteriakan dengan keras dan jelas.
Isinya mengenai penurunan harga, perombakan kabinet, dan pembubaran PKI. Mereka menyebutnya dengan TRITURA, atau tiga tuntutan rakyat. Sebuah respon mahasiswa akan makin melambungnya harga-harga, ketidakberesan kabinet yang diduga korupsi, hingga keterlibatan PKI dalam penentuan arah kebijakan politik dan ekonomi Soekarno.
Dialah Herman Onesimus Lantang. Salah satu dalang demonstrasi yang juga sebagai Ketua Senat mahasiswa UI kala itu. Saya sempat mengobrol dengan Herman O. Lantang di rumahnya yang rindang, dipinggir Jakarta. Tepatnya Minggu sore (26/10), di Jl. Joe no 13, Jagakarsa. Bertanya tentang pergerakannya di tahun 1966, Soe Hok Gie, dan semangatnya yang tidak luntur walaupun usianya kini mencapai 68 tahun.
Berikut petikannya:
Bang Herman, bisa cerita sedikit mengenai keadaan sosial, politik, dan ekonomi di era kepemimpinan Soekarno tahun 1966?
Loe harus tahu Diemas. Ketika itu keadaan Indonesia terlalu terpuruk. Jauh dari keadaan sejahtera atau yang loe rasain kayak sekarang. Coba loe pikir, saking ga ada beras dan selagi ada, harganya mahal, masyarakat harus makan bulgur biar ga mati. Loe tau bulgur?
Sejenis makanan buat ayam bukan, Bang?
Ya. Rasanya udah kayak singkong basi. Gue aja udah males nginget, apalagi makan…hahahaha…
Kalau kondisi sosial politiknya sendiri seperti apa Bang?
Soekarno ketika itu punya gerakan politik dan ekonomi (Gerlpolek) yang dijalankan untuk mengatasi krisis. Tapi karena Menteri-Mentrinya pada begok dan korupsi, Gerpolek tidak berjalan. Coba loe tanya Yopi Lasso. Rasanya dia paham betul dengan hal ini. Maklum, yang lain udah pada “lewat” (meninggal) termasuk Gie (Soe Hok Gie).
Lantas Apa sikap dan tindakan yang diambil Abang dan mahasiswa lainnya melihat kondisi seperti itu?
Jumat tanggal 7 Januari 1966, Gie mengumpulkan kita semua (Mahasiswa Fakultas Sastra Indonesia) di Kampus Salemba. Tepatnya di ruang senat mahasiswa sastra. Secara spontan Gie mengajak mahasiswa Sastra UI untuk menyuarakan dan mengkritisi hal ini. Dia juga ngajak gue yang ketika itu sebagai ketua senat mahasiswa dan punya banyak massa. Tanggal 10 januari 1966 kita turun ke jalan. Dari sinilah demonstrasi demi demonstrasi terus didengungkan mahasiswa dan rakyat demi menuntut kesejahteraan. Dan ini hari yang penting bagi perubahan keadaan ketika itu.
Apakah kondisi tadi menjadi alasan mahasiswa berdemonstrasi dan mengumumkan TRITURA?
Kita merasa Soekarno telah gagal menjalankan kebijakan-kebijakannya sebagai seorang pemimpin. Belum lagi adanya pengaruh besar dari PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam pemerintahan. Sebab itu kita berdemonstrasi untuk mengumumkan TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat).
Mayjen dr. Syarief Thayeb yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan ditengarai berada dibalik Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMMI). Apakah ada maksud “tertentu” dari ABRI? Kudeta terhadap pemerintahan Soekarno, begitu?
Syarief Thayeb memang sempat mengumpulkan banyak organisasi mahasiswa ketika itu. Ada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI), dan banyak lagi. Ketika itu gue berada di Dewan Mahasiswa UI (DMUI) dan memutuskan untuk tidak bergabung! Bukan karena kita arogan atau apa, melainkan kita punya ideologi sendiri dan malas dimanfaatkan pihak-pihak yang punya kepentingan disana (ABRI). Gie, Aristides (Kattopo), Idhan Lubis, dan teman-teman lainnya juga kurang setuju jika kita bergabung di KAMMI.
Memang seperti apa hubungan antara Soekarno, ABRI, dan PKI ketika itu?
Gue gak tau jelas soal kemelut antara ABRI dan PKI saat itu. Yang gue inget hanya mereka (ABRI dan PKI) mencoba merebut hati Soekarno untuk berada dijajaran pemerintahan. Sayang, Gie udah ga ada. Dia hafal banget mengenai permasalahan ini. Coba loe baca bukunya, Diemas. Syukur-syukur ada.
Lantas bagaimana sikap Soekarno melihat aksi mahasiswa, Menteri kabinetnya, PKI dan ABRI?
Gue rasa Soekarno bingung dengan tuntutan demi tuntutan yang dilayangkan mahasiswa dan rakyat ketika itu. Ditambah lagi adanya “kemelut” antara ABRI dan PKI. Soebandrio saja kalang kabut dan mencak-mencak ketika aksi gue dan teman-teman tambah besar.
Apakah Soekarno atau PKI melancarkan intervensi dan intimidasi terhadap gerakan mahasiswa? Apa saja?
Kok loe tau sih? Hahahaha (Bang Herman tertawa). Gue sering pukul-pukulan dengan aparat waktu demonstrasi. Belum lagi surat kaleng yang ditimpuk selagi rapat di kampus. Tapi dasar orangnya keras, kita maju terus. Buat kita, kepentingan rakyat lebih penting ketimbang ancaman-ancaman macam itu. Loe pasti udah nonton film Gie. Disana ada adegan dimana rumah Gie dilemparin batu dan surat kaleng.
Bagaimana dengan sikap Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang di backup PKI melihat teman-temannya menuntut penggulingan Soekarno dan pembubaran PKI?
Jangan ditanya Diemas. Sudah pasti kita juga sering bentrok dengan CGMI. Mereka merasa kebijakan-kebijakan PKI-lah yang relevan ketika itu. Padahal kita tahu, PKI berada dibalik Soekarno dalam menetukan kebijakan. Dan semua kebijakan itu bisanya hanya menyengsarakan rakyat. Gak mikir soal kepentingan rakyat. Salah besar kalau kebijakan itu dirasa benar.
Nyesel Gak Bang kejatuhan Soekarno malah memunculkan figur pemimpin yang lebih diktator kayak Soeharto?
Yopi Lasso sempat bilang ke gue kayak gini, “Edan man, tau gitu gak akan kita turunin deh Soekarno.” Gue langsung jawab, “Kita udah berusaha semaksimal mungkin, yop. Dan yang amat disayangkan lagi, sewaktu kita tahu Soeharto bobrok, kita tidak dekat dengan Jakarta. Gue di Irian (Papua), Gie di Amerika, dan yang lain gak tau kemana. Hilang kontak. Tau gitu jangan dia deh.” Loe tau kan maksud gue?
“Tahu Bang,” Jawab Saya sambil tersenyum. Oiya Bang, Selain ABRI ada juga mahasiswa yang “memanfaatkan” kondisi ketika itu. Ditengarai Akbar Tanjung, Sofwan Wanandi, dll ikut bertanggung jawab atas naiknya Soeharto. Bagaimana menurut Bang Herman?
Wah, pertanyaannya berat juga. Hahahahaha… Gue cuma bisa bilang gini Diemas. Di setiap pergerakan yang bertujuan perubahan, gak bisa dipungkiri terdapat pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan ingin memanfaatkannya. Contohnya kita. Kepentingan kita berada di pihak masyarakat banyak yang menginginkan harga sembako murah, akses pendidikan yang mudah, dan keamanan. Sedangkan orang-orang semacam itu bisa dilihat kepentingannya berada dimana? Gie sendiri sudah kasak-kusuk dan gerah melihat hal ini.
“Halus tapi menohok Bang,” jawab saya. Lantas apakah ada konspirasi dan janji politik di dalamnya? Mengingat Akbar dan Sofyan hidup enak di era Soeharto?
Loe bisa lihat sendiri kan sekarang keadaannya gimana? Dan udah jadi tugas loe kalau mereka “macam-macam”.
Tidak tertarik berpolitik seperti mereka Bang?
Gue kurang suka dan sesuai dengan kehidupan politik. Terlalu membual. Sementara ada banyak hal yang harus dipecahkan tidak lewat kebongongan dan lobi-lobi ga mutu, melainkan dengan kejujuran dan hati nurani. Rasanya gue gak bisa masuk dalam dunia kayak gitu, Diemas. Mungkin kehidupan seperti inilah (dekat dengan alam) yang membuat gue nyaman dan tenang.
Oiya, kita udah panjang lebar bicara soal keadaan ’66. Tapi sedari tadi Bang Herman belum cerita bagaiamana menjadi seorang ketua senat UI. Bisa cerita sedikit Bang?
Gue kepilih jadi ketua senat di akhir tahun 1964. Ketika itu memang anak-anak ngeliat gue orang yang keras dan kesannya main pukul. Sempat sewaktu rapat gue pukul meja untuk menenangkan. Tapi dari sana mereka sadar bahwa dengan omongan gu itu ternyata bisa menyadarkan dan buat nangis mereka ketika tahu maksud dan artinya. Sama halnya ketika gue jadi panitia di Mapram (Ospek) dan Mapala UI. Abis gue omelin, eh mereka malah nangis terharu. Sama satu rahasia lagi Diemas. Jangan punya cewek (pacar) ketika loe jadi ketua. Biar loe bisa disukain banyak cewek karena wibawa loe. Hehehehe…
Banyak pacar dong Bang sewaktu jadi mahasiswa?
Pacar sih gak ada, tapi yang suka sama gue banyak. Hehehehe…
Bisa aja nih Abang, huaahahaha. Melihat kondisi mahasiswa saat ini, apa kesan dan penilaian Bang Herman?
Banyak ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa sekarang ketika mereka teriak-teriak di depan MPR atau Istana Negara. Mereka membela rakyat memang, tapi dibelakangnya terdapat kepentingan banyak pihak yang mem-backing-nya. Sama satu lagi, dulu kita bergerak atas dasar hati nurani dan spontanitas. Beda ketika melihat mahasiswa sekarang berdemo. Mereka kebanyakan bergerak karena ada dorongan dari orang-orang yang gak bertanggung jawab. Jujur, gue sedih dengan keadaan seperti ini.
Budiman Sudjatmiko, Mahasiswa yang paling diincar di tahun 1998 (era Soeharto) sekarang berada di kubu Megawati. Apa penilaian Abang?
Mereka itu sama halnya dengan orang-orang yang mencoba memanfaatkan keadaan saat gue dulu berjuang di tahun ’66. Gue, Gie, Aristides, Idhan, Yopi, dll tentunya akan merasa sedih ketika mendapati di jaman sekarang masih ada aja orang macam itu. Jangan sampai seperti itu Diemas. Bilang teman-teman loe!
Lalu apa pesan Bang Herman untuk mahasiswa sekarang?
Ketika loe melihat ketidakjujuran sudah mulai berjangkit dimana-mana. Sudah selayaknya anak muda untuk bergerak. Tapi satu catatan yang harus diingat. Pakai hati nurani. Kembangkan gerakan loe atas dasar cinta, komitmen, dan konsistensi untuk merubahnya menjadi lebih baik. Jangan lupa juga untuk menjaga alamnya. Percuma sistem berhasil tapi kondisi lingkungannya parah. Gue harap manusia muda Indonesia bisa membawa bangsa ke keadaan yang lebih sejahtera dan beradab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berikan komentar anda