biografi

Cari Blog Ini

Senin, 03 Januari 2011

Soe Hok Gie

Soe Hok Gie

November 13, 2010 at 3:32 pm | Posted in Books | Leave a Comment
Tags: ,
Soe Hok Gie lahir di Jakarta, pada 17 Desember 1942. Putra keempat dari Soe Lie Pit alias Salam Sutrawan, dan adik dari sosiolog Arief Budiman atau Soe Hok Djin. Tahun 1961 lulus dari SMA Kanisius Hok Gie melanjutkan ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia jurusan Sejarah.
Sebagai individu, Gie adalah sosok luar biasa dan mengagumkan. Ia adalah contoh nyata seorang pejuang yang kukuh pada idealisme. Seorang intelektual yang setia pada nilai-nilai humanisme universal. Ia berdiri tegak di atas prinsip perikemanusiaan dan keadilan, dan menghadapi segala resikonya. Baginya ada suatu yg lebih besar: kebenaran.
Semasa kuliah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Terlibat aktif dalam gerakan kemahasiswaan awal tahun 1966. Gerakan yang memiliki peran besar dalam meruntuhkan rezim otoriter Orde Lama dan membangun Orde Baru. Ia menjadi arsitek aksi “long march”, aksi mahasiswa memenuhi jalan, pada Januari 66.
John Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani (Pustaka Utama Grafiti, 2001.) melukiskan,
Sebagai intelektual, komitmen Soe Hok Gie untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan tidak perlu disangsikan lagi. Jiwanya selalu memberontak tatkala menyaksikan berbagai praktek dehumanisasi, pengingkaran demokrasi, dan pelecehan terhadap akal sehat. Keberpihakannya pada nilai-nilai prinsipil itu membuatnya tidak memedulikan siapa pun yang mesti dihadapinya dan risiko apa pun yang bakal menimpanya. Yang ia kehendaki hanyalah “yang lurus-lurus” saja.
Sebagai intelektual non-partisan, loyalitasnya hanyalah pada nilai-nilai, melampaui segala sekat dan kepentingan. Ia adalah intelektual bebas yang tidak terjebak pada interest tertentu, entah itu kapital, kuasa, ataupun pamrih politis.
Semasa kuliah Soe Hok Gie juga dikenal sebagai penulis produktif. Artikel-artikelnya yang kritis dan tajam tersebar di beberapa media massa: Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.
Kedekatannya pada sastra, ketertarikannya pada sejarah, juga karir kepenulisannya, tidak terlepas dari latar belakang ayahnya yang seorang penulis, redaktur pelbagai surat kabar dan majalah, dan berminat besar dalam filsafat dan agama. Lihat saja beberapa nama yang disebut dalam catatan hariannya semasa SMP-SMA: Andre Gide, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, membaca Romeo & Juliet, Toynbee, Hatta (Demokrasi Kita), Gandhi, Ortega y Gasset, Milovan Djilas, juga George Orwell. (SMP-SMA lho ya..)
Gie adalah pemuda berperawakan kecil tapi penuh cita-cita. Tidak hanya belajar, ia berjuang, bertindak, untuk mewujudkan perubahan di masyarakat sesuai cita-citanya, mewujudkan tatanan kehidupan yang didasarkan pada kesadaran yang besar akan hakikat kemanusiaan. Sepak terjang, pemikiran, idealisme, dan pengalamannya dengan tekun ia tuangkan dalam catatan hariannya. Pada 1983, LP3ES membukukan catatan harian Soe ini dengan judul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran. Ditulis sejak kelas 3 SMP hingga beberapa hari sebelum kematiannya, tertanggal 4 Maret 1957 sampai dengan 8 Desember 1969.

Pada Desember 1968 sepulang dari Amerika, di bandara Sydney, Gie sempat mengalami perlakuan reaksioner. Semua buku dan piringan hitam Joan Baez miliknya ditahan karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan menjadi dosen di almamaternya, sambil terus menulis di media massa. Kerap melontarkan kritikannya, mengingatkan pemerintahan Orde Baru agar tidak melakukan kesalahan seperti dilakukan pendahulunya. Gie gusar menyaksikan sebagian besar tokoh mahasiswa rekan seperjuangannya aktivis 66 yang memasuki pemerintahan justru larut dalam kekuasaan dan melupakan tujuan semula.
Gie ikut mendirikan Mapala UI. Mendaki gunung adalah hobinya. 22 Agustus 1967, ketika menulis tentang penaklukan Gunung Slamet, 3.442 m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Mengenai hal ini, Daniel Dhakidae dalam pengantar di buku Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran menulis,
Soe Hok Gie tidak saja memahami rahasia membikin pribadi terbaik tapi dia berupaya untuk senantiasa membongkar rahasia itu dan menyebarkannya dengan ikut mendirikan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) pada awal tahun 1960-an; suatu rahasia yang begitu sederhana yaitu bertumbuh dalam alam terbuka. Dalam tafsirannya, alam terbuka adalah gunung dan dia putuskan untuk naik ke gunung. Di sana seluruh bumi membuka diri, kaki langit tertancap teguh di seputar dirinya dan dia menatap kaki langit tanpa rintangan karena tidak ada yang lebih tinggi dari puncak. Di sana dia merasa bersih dan dia membersihkan dirinya.
Untuk membiayai pendakian, sewaktu mencari pendanaan, jika terlalu banyak pertanyaan dari para donor tentang kenapa naik gunung, Gie menjawab:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Hok Gie meninggal di gunung Semeru (3.676 m) tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Ia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
Harian Kompas menyambut kematiannya dengan tulisan:
“Dengan hati yang patah karena sedih kami menerima kabar tentang meninggalnya Soe Hok Gie, ketika mendaki gunung Semeru. … Seorang pemuda yang luar biasa telah meninggalkan kita. Luar biasa dalam banyak hal. Cerdas, brilliant, jujur dan terbuka. Seorang idealis yang murni. Dengan perasaan keadilan yang tajam. Suatu manusia yang berjiwa bebas. Dan semuanya ini dihias dengan keberanian yang luar biasa pula.” (Kompas 22 Desember1969, “Mahasiswa Idealis Meninggal di Gunung Semeru”, In Memoriam Soe Hok Gie.)
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika ia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
Seorang pemuda idealis bermata sipit namun memiliki rasa cinta tanah air yang mungkin jauh lebih besar dari kita orang-orang pribumi.
Buku lain mengenai Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, berisi sekitar 35 karya artikelnya, kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru; Di Bawah Lentera Merah, skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang. Saya punya softcopy-nya dalam bentuk PDF, kalau berminat silakan tinggalkan alamat email di kotak komentar; Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun. Ada di Google Books.
Beberapa kutipan dari buku Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran
Saya telah memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.
Saya tidak mau jadi pohon bambu. Saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
Pertama-tama kita harus jawab: “Who am I ?” Dan saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin selalu mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi, juga ketidakpopuleran. Ada suatu yg lebih besar: kebenaran.
Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.
Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Menghadapi kekejaman-kekejaman ini orang hanya punya dua pilihan. Menjadi apatis atau ikut arus. Tapi syukurlah ada pilihan ketiga: menjadi manusia bebas.
Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…
Saya katakan bahwa kita bisa saja hancur karena tekanan-tekanan hidup tetapi kita tidak akan pernah terkalahkan. “MAN can be destroyed but never defeated.”
Kutipan dari surat kawannya dari luar negeri: “Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian. … Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan.”
Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…
Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berikan komentar anda